Melihat Sebelum Memahami: Peran Visual dalam Desain UI/UX
Pernahkah Kamu mengingat bagaimana rasanya melihat pelangi untuk pertama kali?
Ada sesuatu yang magis saat mata menangkap sesuatu yang indah, tak terduga, dan belum dikenali. Tak ada kata-kata yang muncul saat itu. Hanya rasa. Hanya kesan. Dan itu cukup untuk membuat kita terpikat.
Sebagai seorang desainer, saya sering merenung: seberapa sering kita lupa bahwa pengguna melihat sebelum mereka memahami? Bahwa sebelum tombol diklik atau teks dibaca, mata sudah lebih dulu mengambil keputusan.
Visual Lebih Cepat dari Kata-Kata
Saya dulu berpikir bahwa makna datang dari kata-kata. Tapi kenyataannya, otak manusia memproses gambar dalam waktu hanya 13 milidetik. Jauh lebih cepat daripada kalimat yang butuh dibaca, dipahami, dan diterjemahkan.
Visual itu langsung. Ia tak butuh izin untuk masuk.
Simbol hati langsung terbaca sebagai “suka”. Warna merah memberi sinyal “berhenti”. Wajah tersenyum memberi rasa aman.
Tanpa instruksi. Tanpa suara. Tanpa teks.
Dan yang menarik, semua itu terjadi sebelum pengguna tahu apa yang sedang mereka gunakan.
Ironi yang Nyata: “Don’t Judge a Book by Its Cover”
Kamu pasti familiar dengan kalimat ini:
“Jangan menilai buku dari sampulnya.”
Tapi di dunia digital, ironinya sangat terasa. Kita selalu menilai dari tampilan.
Situs yang terlihat kusut membuat kita ragu. Aplikasi dengan desain membingungkan membuat kita menutupnya dalam hitungan detik.
Saya tak ingin menyangkal makna dalam. Tapi sebagai manusia, kita tak bisa memisahkan penilaian visual dari persepsi awal. Dan itu bukan hal buruk—selama kita sadar bahwa visual hanyalah permulaan dari pengalaman yang lebih luas.
Desain Bukan Cuma Soal Estetika
Saya percaya, desain yang baik itu bukan hanya soal tampilan, tapi tentang bagaimana tampilan itu mengantarkan pengguna menuju tujuan mereka. Sebuah tombol yang menarik belum tentu baik jika membingungkan. Navigasi yang cantik bisa jadi musuh jika terlalu rumit.
Kamu dan saya sama-sama tahu: kita pernah kecewa oleh produk yang terlihat menarik tapi menyulitkan. Maka dari itu, tugas kita sebagai desainer bukan sekadar merancang yang “indah”, tapi yang bermakna.
Dan untuk itu, kita perlu kemampuan untuk melihat ulang seperti pertama kali.
Melihat Seperti Pertama Kali
Saya suka menyebut ini “pandangan polos”—cara kita melihat sesuatu tanpa beban kebiasaan, tanpa bias, tanpa menganggap kita sudah tahu segalanya.
Karena seringkali, justru dalam kesegaran pandangan pertama itulah kita menemukan yang paling jujur.
Kita melihat hal-hal yang sebelumnya tersembunyi. Kita memahami mengapa pengguna bingung, mengapa tombol itu tidak terpencet, atau mengapa halaman itu terasa “mati”.
Tony Fadell pernah berkata,
“We saw the world more clearly when we saw it for the first time, before a lifetime of habit get in the way.”
Dan saya setuju.
Sebagai desainer, kita tak hanya perlu keterampilan. Kita juga perlu kepekaan—untuk kembali menjadi pemula, agar yang kita buat tak hanya memikat mata, tapi juga menggerakkan hati.
"Jika Kamu merasa dunia desain kadang terlalu cepat berubah, terlalu banyak aturan, atau terlalu banyak suara—cobalah diam sejenak, dan lihat lagi dengan mata yang baru. Mungkin, di sanalah letak desain yang paling jujur berasal."
Komentar
Posting Komentar